SEMANGAT MENUNTUT ILMU DAN KEPATUHAN KEPADA
ORANG TUA
KH. A. WAHID HASYIM (MENTERI AGAMA PERTAMA)Add caption |
Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan
pengembaraan mencari ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji,
Sidoarjo. Di sana ia mondok mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan
(hanya 25 hari). Setelah itu pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah
pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid
ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda Wahid menjadi Santri Kelana,
pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tahun 1929 dia kembali ke
pesantren Tebuireng. Ketika kembali ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15
tahun dan baru mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat
belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika,
dll. Dia juga berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun
Arab. Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan
majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia hanya mengambil
dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia mulai belajar
Bahasa Inggris.
Pada tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, Abdul
Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Selain
menjalankan ibadah haji, mereka berdua juga memperdalam ilmu pengetahuan
seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Abdul Wahid menetap di tanah
suci selama 2 tahun.
Sepulang dari tanah suci, KH. Abdul Wahid (biasa dipanggil KH. Wahid Hasyim) bukan hanya membantu
ayahnya mengajar di pesantren, tapi juga terjun ke tengah-tengah masyarakat.
Ketika usianya menginjak 20-an tahun, Kiai Wahid mulai membantu ayahnya
menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama
ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan
para tokoh. Bahkan ketika ayahnya sakit, ia menggantikan membaca kitab Shahih
Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai
penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dengan
bekal keilmuan yang cukup, pengalaman yang luas serta wawasan global yang
dimilikinya, Kiai Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng.
Awalnya dia mengusulkan untuk merubah sistem
klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke
pesantren. Usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan
masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan Kiai
Wahid tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi
materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Pada masa setelah Indonesia merdeka, di dalam kabinet
pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk
menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika
KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi
dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan
kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat
menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya
selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar